my Covid-19 Journey : Part 1

saya ngerasa saya udah cukup taat protokol kesehatan, ga keluar rumah untuk hal yang tidak penting, ketika ada kesempatan vaksin, saya dafta...



saya ngerasa saya udah cukup taat protokol kesehatan, ga keluar rumah untuk hal yang tidak penting, ketika ada kesempatan vaksin, saya daftar lebih dulu. Tapi tidak menutup kemungkinan saya akan terinfeksi virus corona. Dan ternyata benar, kejadian.. 


Beberapa kali saya baca beberapa rekan saya terkena covid karena ketularan pekerja di rumah ataupun sopir yang kerja pulang dan pergi (tidak menginap). Kebetulan kami dirumah punya seorang pekerja yang tugas utamanya menjaga anak-anak terutama saat saya ada kerjaan, sebut saja beliau dengan sebutan Uwa'.  Walaupun anak-anak lebih sering saya yang urus, tapi kontak langsung dengan uwa' juga cukup sering. Ada kalanya anak-anak mau mandi sama uwa, gak mau sama ibu, nah disinilah peran si uwa bekerja. 

Saya termasuk paling cerewet urusan protokol kesehatan ini, bukan cuma ke Uwa, tapi juga ke Oma nya anak-anak yang punya lebih banyak lagi karyawan yang juga pulang pergi. Kebetulan rumah oma dan rumah kami hanya terpisah beberapa blok,  sering kali oma nya menyuruh karyawannya secara bergantian mengantarkan makanan kesini walau hanya sebentar dan tetap menggunakan masker. Saya sudah wanti ke Uwa' dan tim rumah oma, kalo ga perlu-perlu banget ga usah kemana-mana, dan harus terus menggunakan masker kemanapun pergi atau bila bertemu orang dari luar, dan saya juga segera mendaftarkan vaksin saat ada kesempatan. Saat tulisan ini ditulis, uwa' dan semua karyawan oma sudah dapat vaksin dosis kedua. 

Jujur saya ga setega itu untuk merumahkan Uwa'. Karena beliau ini adalah tulang punggung dimana suami beliau adalah buruh harian lepas yang saat ini sedang tidak ada pekerjaan. Jadi dengan bismillah, Uwa' kami pertahankan, walau konsekuensinya cukup berat. 

PS : Disclaimer dulu, saya jujur ga tau darimana virus ini pada akhirnya bisa hinggap di tubuh kami, postingan ini saya buat tanpa maksud menyalahkan siapapun..

Cerita dimulai dari anak-anak yang secara bergiliran demam tinggi, 
awalnya si adik, lalu menular ke kakaknya..
Beberapa hari sebelumnya uwa' memberikan tanda-tanda sedang tidak enak badan, tumben sekali siang-siang pakai jaket. Ditanya kondisinya oleh suami, ia bilang agak kedinginan . Begitu juga dengan beberapa karyawan oma, demam serentak. Beberapa hari sebelumnya memang mereka semua pergi berbarengan untuk mendapat suntikan vaksin dosis pertama.
dan dari sinilah kami kecolongan..

malam setelah uwa merasa kedinginan, ditengah malam saya mendapati anak gadis kecil kami demam dengan suhu yang cukup tinggi. Biar begitu ditengah malam dia masih ceria dan mengajak ayahnya bernyanyi. Menjelang subuh dia rewel sekali, ga mau di gendong ayah, mau nya digendong ibu dan ibu ga boleh duduk. Setiap saya taruh di tempat tidur, dia terbangun. Alhamdulillah dalam 2 hari demam mereda, dan gantian kakaknya yang mulai demam. Untungnya si kakak hanya demam 1 hari, setelah itu ia kembali ceria seperti tidak ada tanda-tanda sedang sakit serius. 

Biarpun begitu, saya tau banget kalo anak saya lagi ga enak badan.
Si kakak selalu pengen di peluk ibu dan di gendong ayah, si ade yang harusnya sudah di sapih malah setelah demam kemarin makin kenceng nenen nya, ga bisa liat ibu duduk dikit dia langsung minta nen, pernah juga ibu lagi beberes dapur lalu ditarik ke kamar buat nen, ada kali 30x dalam sehari. Dengan kondisi badan anak yang sedang tidak sehat, saya memutuskan untuk menunda proses menyapih adik. Saat sehat aja kadang ga tega dan banyak drama, apalagi kalo anaknya dalam kondisi sakit. 

Setelah anak-anak membaik, mulai lah kami orang tuanya yang sakit. 

Saya dan suami akhirnya demam, kedinginan di siang hari, dan seluruh badan terasa sakit bahkan walau hanya dengan disentuh. 

Karena dikanan kiri banyak berita tentang teman dan kenalan yang positif covid-19, saya ajak suami untuk test swab antigen di RS siloam Sriwijaya. Syukurnya mereka menyediakan layanan drivethru sehingga kami ga perlu kontak dengan banyak orang. Anak-anak yang awalnya akan ikutan swab bersama kami, akhirnya kami urungkan. Dengan pertimbangan anak-anak yang takut melihat perawat ber-APD yang mengetest kami. Orang tua aja udah anteng bisa ngerasain ngilu pasca swab, apalagi anak-anak yang berontak, bisa - bisa cedera rongga hidung. Kami putuskan bila hasil swab antigen positif maka anak-anak akan kami swab juga.


Qadarullah, hasil swab antigen kami positif. Proses nunggu hasil swab yang memakan waktu sekitar 8 jam membuat kami harus melakukan swab PCR esok harinya. Ada yang mengagetkan saat menunggu waktu PCR, saya dan suami ga bisa mencium wangi aroma essential oil yang menyengat. Gak tercium sama sekali. Seluruh jenis bau-bauan ga ada yang tercium sama sekali walau nafas tetap normal. Untungnya indra perasa kami masih bisa mengecap segala jenis rasa walau agak sedikit samar.  Selain penciuman, kami juga kehilangan nafsu makan. 

Saya teringat di salah satu WAG ada seorang teman yang menjual Oxymeter. Setelah hasil swab antigen positif, saya segera memesan alat tersebut dan tidak menunggu waktu lama alat tersebut sudah tiba dirumah. Secara berkala saya selalu rutin mengecek saturasi oksigen kami ber-4. Alhamdulillah stabil dan tidak ada sesak. 

Alhamdulillah saturasi oksigen Saya, suami, dan anak-anak stabil > 95

Melihat kondisi yang saya alami, saya semakin yakin kalo sepertinya virus corona sedang mampir ditubuh kami. Jujur saja, yang paling saya takutkan adalah kondisi anak-anak. Keduanya juga hilang penciuman, saya takut sekali karena mereka belum bisa mengekspresikan dan menjabarkan kondisi tubuh yang mereka  rasakan, saya takut kehilangan dan takut menyesal.

Mengetahui anak-anak harus berkenalan dengan virus ini saja sudah jadi tamparan maha dahsyat buat saya dan suami..

Dan hasil swab PCR keluar, kami positif Covid - 19..

Syukur kehadirat Tuhan semesta Alam, sang maha menyembuhkan. Setelah demam di hari pertama kondisi tubuh anak-anak tidak menunjukkan tanda-tanda sedang sakit. Di minggu pertama dan kedua saya mengontrol ketat semua makanan yang masuk ketubuh anak saya, tidak ada ultra processed food sama sekali. Cemilan hanyalah buah dan semua makanan olahan rumahan / non pabrikan.

Begitu banyak kemudahan dan perhatian yang datang kepada kami..

2 hari setelah terkonfirmasi positif, dengan di fasilitasi kantor suami, kami melakukan telemedicine by zoom dengan dokter spesialis penyakit dalam di RS Hermina Palembang. Kami diberikan obat berdasarkan keluhan yang kami rasakan, dan diberikan resep anti virus yang boleh dicari sendiri. Kenapa tidak diberikan oleh rumah sakit ? karena gejala yang kami rasakan cenderung ringan ke sedang, dan obat anti virus diprioritaskan untuk pasien dengan gejala berat. Anak-anak juga diberikan suggest multivitamin apa yang harus diberikan selama masa isolasi mandiri berlangsung. 

Besok paginya obat sudah sampai dirumah dengan bantuan abang ojek online..

Saya memahami betul setiap orang mengalami sakit yang berbeda tergantung dengan imunitas tubuh. Saya bersyukur sekali sudah divaksin full dosses. Dan saat virus ini mampir ketubuh saya dan suami, insyaAllah vaksin sudah bekerja optimal karena sudah lewat 2 bulan sejak vaksin kedua disuntikkan. Tapi tetap saja, yang paling saya khawatirkan adalah anak-anak. 

Oleh seorang teman yang sudah duluan terkonfirmasi positif, 
kami disarankan untuk datang ke RS. Bunda Jakabaring yang ternyata sudah bekerja sama dengan kemenkes untuk scan torax dan dapat obat, selain itu temen saya ini juga bilang kalo ada opsi untuk Isolasi di RS Bunda, Wisma atlet ataupun asrama haji. Tentu saja dengan  melihat bagaimana kondisi saat itu, bila gejala cenderung ringan maka akan di perbolehkan untuk isoman di rumah. 

Tapi karena sudah konsultasi dengan dokter dari RS Hermina, kami putuskan untuk tidak datang ke RS Bunda Jakabaring. Kami sudah banyak di bekelin obat, nanti jadi bingung harus minum obat yang mana kalo kebanyakan hehe. 

Alhamdulillah dalam waktu 3 hari, penciuman kami berangsur-angsur kembali. Demam tidak datang lagi, tapi ada kalanya hidung sakit saat bernafas, seperti kalo berenang kemasukan air. Sakitnya hidung itu sampe bikin kepala pusing. Gejala ini saya alami sekitar 5 hari. Setelah itu saya sudah merasa sehat dan bugar. Tapi tetap saja saya waspada atas kemungkinan terburuk yang menyerang kami, apalagi kalo bukan happy hypoxia dan cytokine strom atau badai sitokin.

Hari ini sudah hari ke - 21 pasca kami isolasi mandiri, insya Allah hari kamis nanti dijadwalkan PCR ulang sebagai syarat suami untuk masuk kantor. Walau menurut yang saya baca dan juga kata dokter yang memeriksa kami, bila sudah isolasi 10+3 hari dan tidak lagi bergejala sudah di nyatakan sembuh. Dan sensitifitas tinggi dari alat PCR tidak bisa membedakan apakah virus tersebut masih hidup atau sudah mati, selama materi genetik itu masih menempel ditubuh maka akan tetap di anggap positif.

Saya paham sekali bahwa covid-19 ini adalah penyakit yang misterius, kalo kata dokter Gunawan di Podcastnya Deddy Corbuzier, setiap pasien memiliki gejala berbeda. Proses penyembuhannya tidak bisa disama ratakan, harus kiss to kiss. Segagah apapun kamu, tidak ada yang bisa menjamin kamu bisa selamat dari virus ini, apalagi varian-varian baru ga berhenti bermunculan.

Beberapa saat yang lalu ada seorang guru yoga yang sudah pasti menjalani gaya hidup sehat, rajin berolahraga, pola makan terjaga, tapi sayangnya tidak mampu bertahan dan harus berpulang. Tetapi ada juga seorang nenek dengan banyak komorbid malah sehat dan sembuh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semisterius itu memang..

kita benar - benar tidak tau sekuat apa tubuh kita bisa bertahan..

so please, don't test the lady luck..

Eh, Nanti ceritanya saya lanjutkan, saya mau menyiapkan makan malam suami dulu :) Sehat selalu ya teman-teman. 


You Might Also Like

0 komentar