Sepenggal kisah tentang Pejuang Jarak

Sejak awal menikah, saya dan suami adalah pejuang jarak. Saya bekerja di kota kelahiran kami, Palembang, sedangkan suami merantau ke pu...


Sejak awal menikah, saya dan suami adalah pejuang jarak. Saya bekerja di kota kelahiran kami, Palembang, sedangkan suami merantau ke pulau sebrang, Bangka.

Jika ditarik lurus (dan bila tidak dipisahkan oleh laut tentunya) jarak Palembang - Pangkal pinang hanya 180 km dengan 20 menit waktu tempuh udara, tidak sampai setengah jarak Palembang ke Jakarta. Tidak terlalu jauh, tapi tidak juga bisa dibilang dekat. 

Hampir 4 tahun menjadi pejuang jarak bukanlah hal yang gampang untuk kami, apalagi untukku yang merasa mampu menghadapi apapun sendirian tapi menjadi cengeng ketika harus berjauhan dengan suami.

"Mitha, bila setelah lulus nanti kamu mencari kerja, carilah pekerjaan yang satu kota dengan calon suamimu.. Karna saya ga pernah melihat pernikahan jarak jauh akan berjalan lancar sebagaimana mestinya, pasti harus ada salah satu yang mengalah"

"sebenarnya apa sih yang kamu cari ? terlalu sayang sama gelar S2 mu sampe-sampe lebih milih jauh-jauhan sama suami ?"


Masih teringat jelas kapan dan siapa yang mengucapkan kata-kata diatas. 

Kata-kata pertama diucapkan oleh professor pembimbing S2 ku di sela-sela waktu bimbingan, sedangkan kata-kata kedua secara tajam diucapkan seorang keluarga beberapa hari setelah acara pernikahan kami, ketika tau aku dan suami tidak bisa selalu bersama karna kami bekerja di kota yang berbeda.

Kalo dipikir-pikir wanita normal dimanapun berada pasti ingin selalu berada di dekat suaminya. Setiap pasangan yang memilih menjalani long distance marriage pasti punya alasan masing-masing yang sudah dipertimbangkan dengan matang dan seksama.

Apa sih yang dicari sampe-sampe mau jauhan sama suami ? Bukan karna gelar, apalah artinya gelar S2. Saya justru bertahan karna "titah" suami yang begitu bangga dan mensupport karir saya kedepan. Jujur, kata-kata ingin resign sudah ratusan kali saya ucapkan dengan isak tangis penuh air mata di pelukan suami, ketika berjauhan terasa sangat melelahkan. Bila mengikuti kata hati, walau saya seorang professor pun saya akan dengan senang hati resign untuk suami tercinta, bila saja ia meminta. Toh rezeki bisa dicari, banyak cara lain menjemput rezeki. Tidak peduli dengan gelar S2, ga peduli dengan ikatan 10 tahun tidak boleh resign atau pindah instansi pada negara, ga peduli bahwa betapa banyak manusia yang berharap mendapatkan pekerjaan dengan waktu yang konon cukup fleksibel ini, ga peduli berapa banyak pundi-pundi yang bisa saya kumpulkan, ga peduli betapa banyak penelitian yang bisa saya lakukan dan amal jariah yang akan saya dapatkan bila ikhlas melakukan pekerjaan ini. Bagi saya, suami adalah prioritas pertama yang akan menjadi tanggung jawab saya dunia akhirat, gagal saya dalam melayani suami adalah adalah gagal saya sebagai manusia. saya ingin berada di dekat suami kapanpun beliau butuhkan. Semoga teman-teman yang membaca ini tidak merasakan betapa pilunya mendengar suami sakit disaat jarak memisahkan, karna pilunya luar biasa.

"sabar ya sayang, kita minta Allah jalan yang terbaik. insyaAllah dalam waktu dekat kita bisa sama-sama, biar aku yang pindah" katanya saat itu. Karna beliau yakin, Allah Subhanahuwata'ala pasti menyiapkan jalan keluar.

Walaupun harus merasakan pilunya mengukir cinta diatas jarak, disisi lain saya sangat bersyukur Allah Subhanahuwata'ala karuniakan sosok suami sholeh yang sangat supportive, ga pernah nuntut istri macem-macem, bertutur kata lemah lembut, sangat sabar pada istrinya yang super cengeng dan memprioritaskan keluarga diatas apapun. Ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri sekaligus momok untukku, bahwa keberadaannya selalu aku butuhkan. Tapi tentu saja semakin hatiku lemah, semakin pula suami mensupport bahwa semua kesulitan pasti memiliki kemudahan.

Bila teman-teman pernah membaca tulisan saya tentang karir dan rumah tangga, disana saya tulis bahwa untuk mengalahkan jarak harus ada salah satu yang mengalah, dan pertimbangan suami atas siapa yang mengalah sangatlah matang.

Sebelum kami menikah, suami sudah berdinas di Pangkal pinang (Kepulauan Bangka belitung) sekitar 2 tahun lamanya, dan saya sejak awal menikah yang sudah hampir 4 tahun ini bolak balik Palembang - Pangkal pinang untuk bekerja dan memenuhi kewajiban dunia akhirat sebagai seorang istri, ada kalanya suami yang pulang ke palembang di akhir pekan, dan kembali ke rantauan dengan pesawat pertama di Senin subuh. Please, jangan ditanya sedihnya ketika harus kembali berpisah seperti apa.

Tidak jarang saya mendadak beli tiket sore pulang kantor karna kangen suami dan kemudian mendadak pulang ke Palembang sesaat setelah sampai di pangkal pinang hanya karna ada sesuatu hal mendadak yg harus segera diselesaikan dan tidak bisa di wakilkan. 

Mungkin ada pasangan yang mampu menjalani kehidupan pernikahan seperti ini bertahun-tahun lamanya, dengan santai dan biasa saja, tapi tidak untuk kami. Kami akui kami terlalu lemah untuk bertahan dalam jarak. Karna bagiku, rumah adalah dimana suamiku berada. Dan ketika suami merantau, rumahku ya dirantauan. 

Diperjalanan yang cukup menguras air mata itu, beberapa kali saya temui seorang istri yg tidak bekerja tp tidak mau ikut merantau mendampingi suaminya dengan alasan kota rantauan ga nyaman, saya sempat iri dan dongkol setengah mati. kok bisa-bisanya sih di kasih Allah kesempatan ngurusin suami tapi malah nolak ? Hingga akhirnya saya menyadari bahwa setiap pasangan punya alasan tersendiri, sama seperti keputusan kami untuk bertahan selama 4 tahun ini.


Pulau bangka khususnya pangkal pinang menjadi saksi awal perjalanan kehidupan rumah tangga kami. Kota ini memang kecil, beberapa teman yang telah berlibur ke Bangka bilang bahwa pulau ini cocok sebagai destinasi wisata tapi tidak untuk tempat tinggal, mereka bilang ibu kota provinsinya saja bahkan tidak ada mall, susah cari ini dan cari itu, dan berbagai alasan lainnya.

Tapi buatku , Pulau ini nyaman sekali untuk menjadi kota menetap. Siapa peduli dengan tidak ada mall dan berbelanja harus online ? Yang penting kan disini saya mendampingi suami. Pulau ini memiliki masyarakat yang ramah, Masjid yang selalu ramai di waktu shalat, toleransi antar etnis yang luar biasa, dan segala kedamaian yang bahkan ga kami temukan di kampung halaman yang kian hari semakin melesat perkembangannya.

Di pulau ini banyak sekali pelajaran hidup yang kami alami, Disini saya harus kehilangan janin pertama saya, merasakan hampir meninggal dunia akibat salah diagnosa yang membuat saya harus di operasi besar dan kehilangan sebelah tuba, dipulau ini juga saya kehilangan janin kedua saya, dan dipulau ini juga kami dapat ujian luar biasa dengan musibah akibat banjir terbesar yang menimpa pulau bangka sejak 30 tahun terakhir. Semua kami hadapi hanya berdua, tanpa orang tua dan keluarga.

Dengan begitu banyak hal yang telah di jalani, Bangka terasa sangat spesial, menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup kami, tapi pilihan untuk kebersamaan membuat kami berusaha keras untuk bisa melepasnya dan memilih kembali ke kampung halaman. Atas pertimbangan matang dan keputusan suami tercinta sebagai pengendali dan pengambil keputusan. Dengan pertimbangan tidak gampang untuk saya berada di posisi ini, diberi kemudahan selancar ini, dan karir saya kedepan masih sangat jelas target dan arahnya, dan tentu saja beramal jariyah baik untuk saya dan suami selaku pemberi redho, maka dengan ikhlas suamiku memutuskan untuk mengalah. 

Impian untuk bisa menetap dalam satu kota bukan hal yang kami lewatkan dalam setiap doa. Tentu saja, ini adalah mimpi terbesar kami. Apalagi setelah punya anak, lompat dari kota ke kota lain itu cukup sulit untuk dilakukan. Kalo sebelum punya anak saya bisa melenggang tanpa bagasi, bisa semauanya pesan tiket pesawat setelah kelar urusan kantor, tapi setelah punya anak saya butuh bala bantuan untuk membawa bagasi kabin dan bagasi utama, butuh hari yang pas agar suami bisa jemput ke palembang.

Segala hal diupayakan, doa selalu dipanjatkan, dan keyakinan bahwa Allah Subhanahuwata'ala pasti meridhoi demi satu pengharapan, Kebersamaan. Karna Apalah gunanya karir yang bagus bila harus berjauhan, bila waktu dinikmati sendirian. Anakku butuh ayahnya, dan akupun butuh suamiku. 10ribu manusia yang mensupport dan ada disekitar akan selalu kalah dengan seorang suami, paling tidak itu prinsipku.

2 Tahun pengajuan pindah suami diupayakan, ditolak, diabaikan, jatuh bangun, berkas hilang saat pengiriman, segala kesulitan yang terkesan membuat harapan sangat jauh dari kenyataan. Tapi semakin sulit kenyataan harus dihadapi, semakin kami mengencangkan doa pada Rabb yang maha tinggi. Ketika kesulitan datang, disaat itu pula Allah Subhanahuwata'ala memberikan secercah harapan.

Target dipasang dengan jelas, bila pada batas waktu tertentu suami belum pindah, maka beliau akan mengajukan resign. Seserius itu memang. Tapi tentunya kami tidak gegabah. Sebelum kaki melangkah selalu kami minta pertolongan dan petunjuk Allah, agar jalan yang ditempuh tidak salah arah. Semoga kiranya Allah Subhanahuwat'ala meredhoi dan memberikan jalan terbaik untuk hidup kami.

Alhamdulillaahil-ladzii bini'matihi tatimmushsaalihaat..

Di awal 2019 ini, saya dan suami resmi menetap di satu kota. Sungguh karunia dan nikmat Allah Subhanahuwata'ala bekerja di waktu yang tepat. Allah memang sebaik-baiknya maha pengatur. Kalo ditanya kok bisa ? ya tentu saja bisa, karna kembali lagi, pertolongan Allah selalu datang disaat yang tepat.

Alhamdulillah, hari ini kami sedang menikmati hari-hari kebersamaan kami tanpa memikirkan suami harus kembali bekerja ke pulau sebrang dan terbang dengan pesawat pertama di Senin pagi. Jujur kamipun masih butuh adaptasi, tapi InsyaAllah semua dimudahkan dan di lancarkan. Rasanya sangat bahagia ketika mimpi yang kami ucapkan ketika berandai-andai bisa tinggal satu kota satu persatu dapat kami urai.

Yang paling mengesankan, ternyata kami cukup sedih juga ketika harus benar-benar pindah dari pangkal pinang. Kota awal perjalanan kehidupan kami, meninggalkan teman dan sahabat sesama perantauan, meninggalkan pantai indah yang kapan saja bisa dikunjungi di waktu lengang, meninggalkan tetangga dan suasana religius yang tidak hanya di dapatkan ketika bulan Ramadhan. Tapi kami pindah untuk alasan yang terbaik.

InsyaAllah di waktu yang akan datang, kami akan berkunjung lagi ke pangkal pinang sekedar untuk melepas rindu walau untuk waktu yang sangat sebentar. Semoga Allah subhanahuwata'ala meredhoi, merahmati, dan selalu menjaga pulau bangka beserta seluruh isinya. Till we meet again, Bangka Island. 

Bismillah untuk hari-hari kedepan, awal yang baru dari sebuah akhir. Jujur saya jadi semakin semangat melaksanakan semua kewajiban, lebih semangat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, sebagai ibu, dan menjalankan kewajiban saya sebagai seorang ibu pekerja tanpa mengesampingan prioritas utama saya. Alhamdulillah.. 

Alhamdulillah untuk satu lagi mimpi yang Allah jadikan kenyataan. Sesungguhnya tidak ada tempat mengadu dan kembali selain hanya kepada Allah. Ketika terlalu sulit untuk memikirkan segala kemungkinan, serahkan saja kepada Allah Subhanahuwata'ala. Karna sesungguhnya otak manusia hanya mampu untuk berandai-andai dan berkhayal, bingung apa yang akan terjadi didepan. Sudahlah, ikhlaskan.. Usahakan yang terbaik, kau punya Rabb yang maha tinggi, biarkan ia bekerja dan mengatur hidupmu karna memang itu adalah haknya. Percayalah, Pertolongan Allah berkerja tanpa diduga. 

Untuk teman-teman sesama pejuang jarak, tetap semangat ya.. been there done that, tau banget rasanya pisah dari suami karna terpaksa seperti apa. Saya yakin teman-teman punya alasan kuat kenapa memilih jalan sulit itu. InsyaAllah akan selalu ada pelangi setelah badai, tetaplah berjuang, dengan tulus saya doakan semoga Allah memberikan kemudahan. 




You Might Also Like

0 komentar