Weekly Diary #4 : Duka

Kalo memang bukan rezeki kita, makanan yang sudah masuk mulut pun akan termuntahkan percuma. Kata-kata itu keluar dari mulut ibuku, dan ...


Kalo memang bukan rezeki kita, makanan yang sudah masuk mulut pun akan termuntahkan percuma. Kata-kata itu keluar dari mulut ibuku, dan selalu ku ingat. Bahwasanya apa yang ku genggam sepenuhnya bukan milikku.

Beberapa bulan yang lalu, 3 dari 7 teman dekatku hamil bersamaan. Berita ini angin segar sekaligus motivasi semangat buat ku dan teman-temanku yang juga sedang menunggu antrian hamil hehe. Aku bahagia bersama dengan bahagianya teman-temanku. Walau ga bisa di pungkiri perasaan "nyess" itu masih ada. Perasaan bertanya-tanya, kapan yaaa aku bisa liat tespekku sendiri garis 2 lagi.. ya pokoknya perasaan ingin yang masih wajar, tanpa ada rasa kesal ataupun benci.

Tapi keadaan berbalik, 2 dari ketiga teman dekatku itu secara mengejutkan harus kehilangan calon bayinya - dengan cerita yang sepertinya ga pantas kalo aku bagi disini. Sedih, karena aku tau sekali gimana rasa patah hatinya kehilangan bagian kecil dari tubuh ini. Bagian kecil yang diharapkan akan tumbuh membesar yang kemudian lepas dari badanku dan tumbuh mandiri.

iya, bagiku, bayiku adalah bagian dari tubuhku. Sama seperti kepala, kaki dan tangan. Bedanya ia tumbuh berkembang dan akan lepas dari badanku kemudian hidup menjadi makhluk hidup baru. Jadi, keguguran bukanlah hanya sekedar kehilangan yang biasa, tapi seperti kehilangan salah satu anggota tubuh. Perih dengan duka yang panjang.

Aku ga sanggup untuk bilang "sabar yaaaa.." karna emang bukan itu yang mereka butuhkan. Maka akan lebih baik untuk memberi waktu pada mereka untuk "menghabiskan" rasa sedih sebelum nanti bangkit dan semangat lagi. Memendam rasa sedih benar-benar bukan hal yang menyenangkan.

Apalagi sebagai "orang luar", aku tau bahwa porsiku tidaklah banyak. Apa yang mereka tunjukkan bukanlah mereka yang sebenarnya. Aku tau betul itu. Jadi tidaklah pantas untuk terlalu mengorek, terlalu banyak bertanya bahkan menjudge apa yang mereka lakukan hingga duka itu bisa terjadi. Karna lagi-lagi, aku tau rasanya diperlakukan seperti itu :)

Disaat seperti ini, yang paling dibutuhkan ya cuma bahu nya suami. Kehadirannya untuk memastikan bahwa aku ga sendirian, bahwa aku punya tempat kembali untuk berkeluh kesah dan menangis semalaman. Itu sudah yang paling bisa bikin perasaan cukup tenang dan membaik.

Semoga yang mengalami badai akan segera bertemu dengan pelangi indah :)

Siang hari di Palembang,
sembari mengecek jadwal deadline submit jurnal international
aku masih setia jadi "last-minute person" ;p

Ps : foto di ambil waktu main ke pantai parai sama suami, ada kakek dan nenek bule yang sibuk melawan ombak dengan perahu motor kecil mereka untuk menuju ke kapal mereka yang berada kira-kira 200 m dari bibir pantai. Ternyata berjuang bersama suami begitu menyenangkan, yaaa :)

You Might Also Like

0 komentar